carina karin

carina karin
mumu

Kamis, 26 Februari 2015




ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN  SISTEM KARDIOVASKULER
HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)


MAKALAH


Oleh
Kelompok 18




PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN  SISTEM KARDIOVASKULER
HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)

MAKALAH

disusun sebagai pemenuhan tugas Keperawatan Klinik IIB dengan
dosen pengampu : Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes


Oleh

Karina Diana Safitri                            (132310101019)
Rizka Agustine W                               (132310101041)
Bagus Arditya  H                                (132310101060)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
           
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul“Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan gangguan Sistem KardiovaskulerHenti Jantung ( Cardiac Arrest ) ”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi semuanya.
.
           




Jember, 25 Oktober 2014                                                                    Penyusun








DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL..............................................................................              
HALAMAN JUDUL.................................................................................             ii
KATA PENGANTAR..............................................................................            iii
DAFTAR ISI..............................................................................................            iv
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................             1
1.1  Latar Belakang...............................................................................             1
1.2  Rumusan Masalah..........................................................................             2
1.3  Tujuan............................................................................................             2
BAB 2. TINJAUAN TEORI ....................................................................             3
2.1  Pengertian Henti Jantung ( Cardiac Arrest).....................................             3
2.2  Epidemiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)................................             3
2.3  Etiologi danTanda Gejala Henti Jantung ( Cardiac Arrest).............             4
2.4  Patofisiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)..................................             4
2.5  Prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest)......................................             6
2.6  Pengobatan Henti Jantung ( Cardiac Arrest)...................................             6
2.7  Penatalaksanaan Henti Jantung ( Cardiac Arrest)............................             8
2.8  Pemerikasaan Penunjang Henti Jantung ( Cardiac Arrest)..............           20
BAB 3.  PATHWAY..................................................................................           22
BAB 4.  ASUHAN KEPERAWATAN  ..................................................           23           
4.1  Pengkajian.........................................................................................           23
4.2  Diagnosa Keperawatan.....................................................................           29
4.3 Intervensi Keperawatan ...................................................................           30
4.5  Evaluasi Keperawatan.......................................................................           34

BAB 5.  PENUTUP...................................................................................           35           
5.1  Kesimpulan........................................................................................           35           
5.2  Saran.................................................................................................           35
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................           36


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Henti jantung berdasarkan The Pediatric Utstein Guidline adalah terhentinya aktivitas mekanik jantung yang ditentukan oleh tidak adanya respon dari perabaan pada denyut nadi sentral, dan henti nafas.
Pada anak, henti jantung biasanya lebih banyak disebabkan oleh asfiksia sebagai akibat sekunder dari henti nafas. Hal ini berbeda dengan kejadian henti jantung pada dewasa yang sebagian besar disebabkan oleh masalah primer pada jantung. Data yang didapatkan menyebutkan bahwa, lebih kurang 2 – 4 % pasien yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) mengalami henti jantung. Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak di Amerika Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya, hanya 30 % yang menerima  resusitasi jantung paru dan sebagian besarnya terjadi pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Hans Steiner dan Gerald Neligan (1975) mendapatkan hasil bahwa lamanya henti jantung berhubungan dengan insiden kerusakan otak, semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin berat kerusakan otak yang akan dialaminya. Hal tersebut dikarenakan henti jantung yang lama akan menyebabkan tidak adekuatnya Cerbral Perfusion Pressure (CPP) yang selanjutnya akan berdampak pada kejadian iskemik yang menetap dan infark kecil di suatu bagian otak.
Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada kelangsungan hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti jantung pada bayi dan anak. Resusitasi jantung paru segera yang dilakukan dengan efektif berhubungan dengan kembalinya sirkulasi spontan dan kesempurnaan pemulihan neurologis. Hal ini disebabkan karena ketika jantung berhenti, oksigenasi juga akan berhenti sehingga akan menyebabkan kematian sel otak yang tidak akan dapat diperbaiki walaupun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai beberapa menit .

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa definisi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.2        Bagaimana epidemiologi dan etiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.3        Apa saja tanda dan gejala Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.4        Bagaimana prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.5        Bagaimana pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.6        Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?

1.3        Tujuan
1.3.1   Tujuan Umum
     Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsep Henti Jantung ( Cardiac Arrest) pada anak.
1.3.2   Tujuan Khusus
a.    Mahasiswa mampu menjelaskan bronkopneumonia;
b.    Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dan etiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest);
c.    Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala serta patofisiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest);
d.   Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest);
e.    Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang Henti Jantung ( Cardiac Arrest); dan
f.     Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan Henti Jantung ( Cardiac Arrest).








BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1  Pengertian Henti jantung (Cardiac Arrest )
Henti jantung (Cardiac Arrest ) adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompaan jantung dan hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung, penghantaran oksigen dan pengeluaran karbon dioksida terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis metabolik dan respiratorik terjadi. Pada keadaan tersebut, inisiasi langsung dari resusitasi jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan kematian.

2.2  Epidemiologi Henti jantung (Cardiac Arrest )
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di Amerika Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih didominasi oleh anak berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1 tahun dan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka kejadian henti nafas dan jantung yang terjadi di rumah sakit berkisar antara 7,5 – 11,2%  dari 100.000 orang setiap tahun. Sebuah penelitian di Amerika Utara menunjukkan bahwa, kejadian henti jantung lebih banyak terjadi pada bayi dibandingkan dengan anak dan dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 : 6,3 dari 100.000 orang setiap tahunnya.
Sementara itu, angka kejadian henti jantung yang terjadi di rumah sakit berkisar antara 2 – 6% dari pasien yang dirawat di ICU (Intensive Unit Care). Sekitar 71-88% terjadi pada pasien dengan penyakit kronis, yang terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung, saluran pencernaan, saraf, dan kanker. Penyebabnya hampir sama dengan henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di mana yang terbanyak adalah  asfiksia dan syok.





2.3  Etiologi Henti jantung (Cardiac Arrest )
Penyebab terjadinya henti jantung tidak sama pada setiap usia. Penyebab terbanyak pada bayi baru lahir adalah karena gagal nafas, sedangkan pada usia bayi yang menjadi penyebabnya bisa berupa :
a.       Gangguan kelistrikan jantung
b.      Sindrom bayi mati mendadak atau SIDS ( Sudden Infant Death Syndrome )
c.       Penyakit pernafasan
d.      Sumbatan pada saluran pernafasan, termasuk aspirasi benda asing misalnya tersedak
e.       Tenggelam
f.       Sepsis
g.      Penyakit neurologis
h.      Penyakit jantung bawaan ( kongestive )
Penyebab terbanyak henti jantung pada anak yang berumur diatas 1 tahun adalah cedera yang meliputi kecelakaan lalu lintas, terbakar, cedera senjata api, dan tenggelam.

2.4  Tanda dan Gejala Henti jantung (Cardiac Arrest )
1.      Tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi kolaps tiba-tiba)
2.      Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
3.      Sianosis dari mukosa buccal dan liang telinga
4.      Pucat secara umum dan sianosis
5.      Jika pernapasan buatan tidak segera di mulai, miokardium (otot jantung) akan kekurangan oksigen yang di ikuti dengan henti napas.
6.      Hipoksia
7.      Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)

2.5     Patofisiologi  Henti jantung (Cardiac Arrest )
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005). Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung. Henti jantung timbul akibat terhentinya semua sinyal kendali listrik di jantung, yaitu tidak ada lagi irama yang spontan. Henti jantung timbul selama pasien mengalami hipoksia berat akibat respirasi yang tidak adequat. Hipoksia akan menyebabkan serabut-serabut otot dan serabut-serabut saraf tidak mampu untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit yang normal di sekitar membran, sehingga dapat mempengaruhi eksatibilitas membran dan menyebabkan hilangnya irama normal.
Apapun penyebabnya, saat henti jantung anak telah mengalami insufisiensi pernafasan akan menyebabkan hipoksia dan asidosis respiratorik. Kombinasi hipoksia dan asidosis respiratorik menyebabkan kerusakan dan kematian sel, terutama pada organ yang lebih sensitif seperti otak, hati, dan ginjal, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan otot jantung yang cukup berat sehingga dapat terjadi henti jantung.
Penyebab henti jantung yang lain adalah akibat dari kegagalan sirkulasi (syok) karena kehilangan cairan atau darah, atau pada gangguan distribusi cairan dalam sistem sirkulasi. Kehilangan cairan tubuh atau darah bisa akibat dari gastroenteritis, luka bakar, atau trauma, sementara pada gangguan distribusi cairan mungkin disebabkan oleh sepsis atau anafilaksis. Organ-organ kekurangan nutrisi esensial dan oksigen sebagai akibat dari perkembangan syok menjadi henti jantung melalui kegagalan sirkulasi dan pernafasan yang menyebabkan hipoksia dan asidosis. Sebenarnya kedua hal ini dapat terjadi bersamaan.
Pada henti jantung, oksigenasi jaringan akan terhenti termasuk oksigenasi ke otak. Hal tersebut, akan menyebabkan terjadi kerusakan otak yang tidak bisa diperbaiki meskipun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai menit. Kematian dapat terjadi dalam waktu 8 sampai 10 menit. Oleh karena itu, tindakan resusitasi harus segera mungkin dilakukan. 

2.6  Prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest )
2.6.1        Prognosis
Kematian  otak  dan  kematian  permanen  dapat  terjadi  hanya  dalam  jangka waktu  8  sampai  10  menit dari seseorang tersebut mengalami henti.    Kondisi  tersebut  dapat  dicegah  dengan pemberian  resusitasi  jantung  paru  dan  defibrilasi  segera  (sebelum  melebihi  batas maksimal  waktu  untuk  terjadinya  kerusakan  otak),  untuk  secepat  mungkin mengembalikan fungsi jantung normal.  Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan  antara  5  sampai  7  menit  dari  korban  mengalami  henti  jantung,  akan memberikan kesempatan korban untuk    hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah  penelitian  menunjukkan  bahwa  dengan  penyediaan  defibrillator  yang mudah  diakses  di  tempat-tempat  umum  seperti  pelabuhan  udara,  dalam  arti meningkatkan  kemampuan  untuk  bisa  memberikan  pertolongan  (defibrilasi) sesegera  mungkin,  akan  meningkatkan  kesempatan  hidup  rata-rata  bagi  korban cardiac arrest sebesar 64%.

2.7  Pengobatan
Henti jantung dapat terjadi setiap saat di dalam atau di luar rumah sakit,sehingga  pengobatan dan tindakan yang cepat serta tepat akan menentukan prognosis; 30-45 detik. Sesudah henti jantung terjadi akan terlihat dilatasi pupil dan pada saat ini harus di ambil tindakan berupa:
1.  Sirkulasi artifisial yang menjamin peredaran darah yang mengandung oksigen dngan melakukan :
a)    Masase jantung. Anak ditidurkan pada tempat tidur yang datar dan keras, kemudian dengan telapak tangan di tekan secara kuat dan keras sehingga jantung yang terdapat di antara sternum
 dan tulang belakang tertekan dan darah mengalir ke arteria pumonalis da aorta. Masase jantung yang baik terlihat hasilnya dari terabanya kembali nadi arteri-atreri besar sedangkan pulihnya
 sirkulasi ke otak dapat terlihat pada pupil yang menjadi normal kembali.
b)   Pernapasan buatan. Mula-mula bersihkan saluran pernapasan, kemudian ventilasi di perbaiki dengan pernapan mulut ke melut/inflating bags atau secara endotrakheal. Ventilasi yang baik  dapat di ketahui bila kemudian tampak ekspansi dinding thoraks pada setiap kali inflasi di lakukan dan kemudian juga warna kulit akan menjadi normal kembali.



2. Memperbaiki irama jantung
a) Defibrilasi,yaitu bila kelainan dasar henti jantung ialah fibrilasi ventrikel 
b) Obat-obatan: infus norepinefrin 4 mg/1000ml larutan atau vasopresor dan epinefrin  3 ml 1:1000 atau kalsium klorida secara intra kardial (pada bayi di sela iga IV kiri dan pada anak dibagian yang lebih bawah) untuk meninggikan tonus jantung,sedangkan asidosis metabolik  diatasi dngn pemberian sodium bikarbonat. Bila di takutkan fibrilasi ventrikel kambuh, maka pemberian lignokain 1%  dan kalium klorida dapat menekan  miokard yang mudah terangsang. Bila nadi menjadi lambat dan abnormal, maka perlu di berikan isoproterenol.
3. Perawatan dan pengobatan komplikasi
a)             Perawatan: Pengawasan tekanan darah,nadi,jantung ; menghindari terjadinya  aspirasi     (dipasang  pipa lambung) ; mengetahui adanya anuri yang dini (di pasang kateter kandung kemih).
b)             Pengobatan komplikasi yang terjadi seperti gagal ginjal ( yang di sebabkan nekrosis kortikal akut) dan anuri dapat di atasi  dengan pemberian ion exchange resins,dialisis peritoneal  serta  pemberian cairan yang di batasi.kerusakan otak di atasi dngan pemberian obat hiportemik dan obat untuk mengurangi edema otak serta pemberian oksigen yang adekuat.

2.8  Penatalaksanaan Henti jantung (Cardiac Arrest )
Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada kelangsungan hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti jantung pada bayi dan anak.
CPR atau yang lebih dikenal dengan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan upaya yang dilakukan terhadap korban atau penderita yang sedang berada dalam kondisi gawat atau kritis untuk mengembalikan nafas dan sirkulasi spontan. RJP terdiri atas Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Lanjutan (BHL). BHD adalah tindakan resusitasi yang dilakukan tanpa menggunakan alat atau dengan alat yang terbatas berupa bag-mask ventilation, sedangkan BHL sudah menggunakan alat dan obat-obatan resusitasi sehingga penanganan dapat dilakukan lebih optimal.
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengoptimalkan tekanan perfusi dari arteri koronaria jantung dan aliran darah ke organ-organ penting selama fase low flow. Kompresi jantung yang adekuat dan berkelanjutan dalam pemberian penanganan bantuan hidup dasar sangat penting pada fase ini.
Menurut (Thygerson,2006), prisip penanganan anak cardiac arrest terdapat
4 rangkaian yaitu early acces, early CPR, early defibrillator,dan  early advance care.
a.  Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan  tanda  awal  serta  segera  memanggil  pertolongan  untuk mengaktifasi EMS (Cepat hubungi fasilitas pelayanan kegawatdarutan jantung, ex : call 118 )
b.  Early  CPR:  CPR  akan  mensuplai  sejumlah  minimal  darah  ke jantung  dan  otak,  sampai  defibrilator  dan  petugas  yang  terlatih tersedia/datang.
c.  Early  defibrillator:  pada  beberapa  korban,  pemberian  defibrilasi segera ke jantung korban bisa mengembalikan denyut jantung.
d.  Early  advance  care:  pemberian  terapi  IV,  obat-obatan,  dan ketersediaan peralatan bantuan pernafasan.

2.8.1 Bantuan Hidup Dasar pada Anak
Sebelum melakukan resusitasi, yang sangat penting diperhatikan adalah meyakinkan bahwa penolong dan korban telah berada pada tempat yang aman. Korban dipindahkan hanya jika tempat tersebut membahayakan korban. Selain itu juga penting dilakukan penilaian kegawatdaruratan anak, berupa :

Segitiga penilaian pediatrik (PAT=Pediatric Assessment Triangle)
Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘tides’ meliputi penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas (C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis (S=speech/cry).

Karakteristik
Hal yang dinilai
Tone
Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness
Bagaimana kesadarannya? Apakah suara mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Consolability
Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/gaze
Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau pandangan kosong?
Speech/cry
Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau lemah atau parau?


2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi tubuh yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.

Karakteristik
Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak normal
Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh yang tidak normal
Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi
Supraklavikula, interkosta, substernal, head bobbing
Cuping hidung
Napas cuping hidung

3.  Sirkulasi kulit
Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis.

Karakteristik
Hal yang dinilai
Pucat
Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena kurangnya aliran darah ke daerah tersebut
Mottling
Kulit berbercak kebiruan akibat vasokonstriksi
Sianosis
Kulit dan mukosa tampak biru

2.8.3 Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru :
CPR terdiri dari ventilasi mulut ke mulut dan kompresi dada. Ventilasi mulut ke mulut merupakan teknik ventilasi buatan yang awalnya digunakan pada abad ke-18 namun kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1946, selama epidemi polio ketika korban menderita kelumpuhan pernapasan otot, metode ini digunakan kembali. The American Medical Association mendukung ventilasi mulut ke mulut sebagai teknik untuk ventilasi buatan pada tahun 1958. Ketika ventilasi mulut ke mulut dikombinasikan dengan kompresi dada tertutup pada tahun 1960, CPR modern lahir dan istilah CPR digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1962.
Kompresi dada tertutup digunakan untuk pertama kalinya sebagai metode untuk sirkulasi darurat oleh Boehm pada tahun 1878 , sebagaimana dikutip oleh Kouwenhoven et al. Digunakan kembali pada tahun 1950, dan pada tahun ini juga Kouwenhoven menunjukkan efektivitas kompresi dada tertutup sebagai metode untuk sirkulasi buatan pada manusia. Setelah penemuan defibrilator dada tertutup tahun 1957, Kouwenhoven et al menemukan bahwa ‘pengembalian kerja jantung spontan’ (return of spontaneous heart action) tidak mungkin terjadi jika shock counter tidak dilakukan dalam waktu kurang dari tiga menit. Oleh karena itu kompresi dada tertutup diciptakan untuk memperpanjang waktu di mana defibrilasi bisa efektif tanpa membuka dada. Metode yang digunakan sebelumnya adalah pijat jantung terbuka, sehingga upaya resusitasi sangat terbatas dan hanya menolong sedikit pasien. Kompresi dada tertutup memiliki keuntungan yang besar dibandingkan dengan pijat jantung terbuka karena tidak membutuhkan peralatan sama sekali. Satu-satunya hal yang dibutuhkan adalah dua tangan penyelamat.
Teknik yang digunakan oleh Kouwenhoven banyak memiliki kemiripan seperti saat ini. Penjelasan Kouwenhoven adalah bahwa sirkulasi diperoleh dengan penekanan dada pada posisi antara sternum dan vertebra sehingga darah dipaksa keluar ketika jantung dikompresi. Penelitian yang dilakukan melalui echocardiography memperlihatkan bahwa katup jantung menjadi tidak efektif selama resusitasi, sehingga fakta ini bertentangan dengan teori Kouwenhoven. Kouwenhoven juga berpendapat bahwa kompresi dada tertutup memberikan beberapa ventilasi pada paru-paru, sehingga jika hanya ada satu orang penolong, orang ini harus berkonsentrasi pada penekanan dada saja. Jika dua orang atau lebih penolong, ventilasi mulut ke hidung harus diberikan. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa pentingnya lebih banyak waktu untuk ‘flow generating activities selama resusitasi.

2.8.4 Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA :
1. Periksa Kesadaran
Panggil korban dengan suara keras dan jelas atau panggil nama korban, lihat apakah korban bergerak atau memberikan respon. Jika tidak bergerak berikan stimulasi dengan menggerakkan bahu korban. Pada korban yang sadar, dia akan menjawab dan bergerak. Setelah tindakan identifikasi kesadaran, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya cedera dan pengobatan yang diperlukan, namun jika tidak ada respon, artinya korban tidak sadar, maka segera panggil bantuan.

2. Posisi Korban
Pada penderita yang tidak sadar, tempatkan korban pada tempat yang datar dan keras dengan posisi terlentang pada tanah, lantai atau meja yang keras. Jika harus membalikkan posisi, maka lakukan seminial mungkin gerakan pada leher dan kepala (posisi stabil miring).

3. Evaluasi jalan nafas
Pada penderita yang tidak sadar sering terjadi obstruksi akibat lidah jatuh ke belakang. Oleh karena itu penolong harus segera membebaskan jalan nafas dengan beberapa teknik berikut:
1.             Bila korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya trauma, buka jalan nafas dengan teknik Head Tilt-chin lift Maneuver akan tetapi jangan menekan jaringan lunak dibawah dagu karena akan menyebabkan sumbatan.
Caranya adalah satu tangan diletakkan pada bagian dahi untuk menengadahkan kepala, dan secara simultan jari-jari tangan lainnya diletakkan pada tulang dagu sehingga jalan nafas terbuka.

                                                                                             
 











Gambar : Teknik head tilt and chin lift pada bayi dan anak


2.        Korban yang dicurigai mengalami trauma leher gunakan teknik jaw-thrust Maneuver untuk membuka jalan nafas, yaitu dengan cara meletakkan 2 atau 3 jari di bawah angulus mandibula kemudian angkat dan arahkan keluar, jika terdapat dua penolong maka yang satu harus melakukan imobilisasi tulang servikal



 







Gambar  Teknik Jaw Thrust
Mengeluarkan benda asing
Obstruksi karena aspirasi benda asing dapat menyebabkan sumbatan ringan atau berat, jika sumbatannya ringan maka korban masih dapat bersuara dan batuk, sedangkan jika sumbatannya sangat berat maka korban tidak dapat bersuara ataupun batuk. Jika terdapat sumbatan karena benda asing maka pada bayi < 1 tahun dapat dilakukan teknik 5 kali back blows (back slaps) di interskapula, namun jika tidak berhasil dengan teknik tersebut dapat dilakukan  teknik 5 kali chest thrust di sternum, 1 jari di bawah garis imajiner intermamae (seperti melakukan kompresi jantung luar untuk bayi usia < 1 tahun) .
 












Gambar : Teknik Back Blow pada bayi dan anak


Pada anak > 1 tahun yang masih sadar dapat dilakukan teknik Heimlich maneuver yaitu korban di depan penolong kemudian lakukan hentakan sebanyak 5 kali dengan menggunakan  2 kepalan tangan  di antara prosesus xifoideus dan umbilikus hingga benda yang menyumbat dapat dikeluarkan, sedangkan pada anak yang tidak sadar, dilakukan teknik Abdominal thrusts dengan posisi korban terlentang lakukan 5 kali hentakan dengan menggunakan 2 tangan di tempat seperti melakukan teknik Heimlich manuever. Setelah itu buka mulut korban, lakukan cross finger manuever untuk melihat adanya obstruksi dan finger sweeps manuever untuk mengeluarkan benda asing yang tampak pada mulut korban , namun jangan melakukan teknik tersebut pada anak yang sadar, karena dapat merangsang “gag reflex” dan menyebabkan muntah.
 





                 
     





Gambar : Teknik Chest Thrust                     Gambar : Teknik Abdominal Thrust

4. Periksa nafas
       Jika obstruksi telah dikeluarkan maka periksa apakah korban bernafas atau tidak, lakukan dalam waktu < 10 detik, dengan cara:
1.      Lihat gerakan dinding dada dan perut ( look )
2.      Dengarkan suara nafas pada hidung dan mulut korban ( listen )
3.      Rasakan hembusan udara pada pipi ( feel )
Korban yang mengalami gasping (megap-megap/nafas yang agonal atau nafas yang tidak efektif) , maka korban tersebut dinyatakan tidak bernafas.

5. Berikan bantuan nafas
Lakukan 5 kali bantuan nafas untuk mendapatkan 2 kali nafas efektif. Hal itu dapat dilihat dengan adanya pengembangan dinding dada. Bila dada tidak mengembang reposisikan kepala korban agar jalan nafas dalam keadaan terbuka.
            Teknik bantuan nafas pada bayi dan anak berbeda, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan bag valve mask ventilation atau tanpa alat, yaitu pada bayi dilakukan teknik mouth-to-mouth-and-nose, sedangkan pada anak menggunakan teknik mouth-to-mouth.


 







     Gambar : Posisi pemberian bantuan nafas pada bayi.

6. Periksa Nadi
            Selanjutnya periksa nadi, pada bayi pemeriksaan dilakukan pada arteri brakialis sedangkan pada anak dapat dilakukan pada arteri karotis ataupun femoralis. Pemeriksaan nadi ini dilakukan dalam waktu ≤ 10 detik. Jika nadi > 60 kali/menit namun tidak ada nafas spontan atau nafas tidak efektif, maka lakukan pemberian nafas sebanyak 12-20 kali nafas/menit, sekali nafas buatan 3-5 detik hingga korban bernafas dengan spontan, nafas yang efektif akan tampak dada korban akan mengembang .

 








     Gambar : Lokasi perabaan nadi pada bayi

7. Kompresi Jantung luar
            Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada nafas atau nafas tidak adekuat maka lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi dan anak terdapat perbedaan teknik yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik kompresi di sternum dengan dua jari ( two finger chest compression technique ). Selain itu, dapat juga dilakukan  dengan menggunakan kedua tangan pada posisi satu jari di bawah garis imajiner intermamae ( two thumb-encircling hands ) jika didapatkan dua penolong. Pada anak, kompresi jantung luar dilakukan dengan teknik kompresi pada setengah bagian bawah sternum dengan satu atau kedua telapak tangan, tapi tidak menekan prosesus xipoid ataupun sela iga. Kompresi dilakukan harus dengan baik yaitu:
1.      Push hard” : Kedalaman kompresi berkisar 1/3-1/2 diameter anteroposterior dada
2.      Push fast” : Kecepatan kompresi 100x/menit
3.      Release complete” : Lepaskan tekanan hingga dada dapat mengembang penuh
4.      Minimalisasi interupsi pada saat melakukan kompresi dada








      Gambar : Two finger technique pada kompresi bayi                                        
 





 


Gambar :  Two thumb encircling hands pada kompresi bayi                                              
 









Gambar : Kompresi jantung pada anak dengan satu tangan
 







                  

 Gambar : Kompresi jantung pada  anak dengan dua tangan

Resusitasi jantung paru pada anak yang dilakukan oleh satu penolong dilakukan 5 siklus selama 2 menit, setiap siklusnya terdiri dari 30 kali kompresi jantung luar dengan 2 kali nafas bantuan, sedangkan jika terdapat 2 penolong maka kompresi jantung luar dilakukan 15 kali dengan 2 kali bantuan nafas.
Setelah dilakukan 5 siklus, nilai ulang kondisi korban dengan melakukan evaluasi nadi. Jika nadi kurang dari 60 kali dalam 1 menit atau tidak ada sama sekali, resusitasi jantung paru dilanjutkan. Jika nadi lebih dari 60 kali dalam 1 menit, lakukan evaluasi pernafasan, dan jika nafas tidak ada atau tidak adekuat, lakukan nafas buatan lanjutan selama 12 – 20 kali.

A.      Resusitasi Pada Kondisi Khusus
a)      Trauma
Beberapa aspek resusitasi pada trauma memerlukan perhatian khusus karena tindakan resusitasi yang tidak benar dan tidak adekuat menjadi penyebab keadaan fatal. Kesalahan umum pada resusitasi trauma pediatrik adalah kegagalan untuk membuka dan memelihara jalan nafas, kegagalan untuk meresusitasi cairan, dan kegagalan untuk mengenali serta mengatasi perdarahan internal. Kerjasama dengan dokter bedah berpengalaman sejak awal, dan jika mungkin, membawa anak dengan trauma multisistem ke suatu pusat trauma dengan keahlian pediatrik.
Berikut adalah aspek khusus resusitasi trauma :
1.      Pada trauma yang melibatkan tulang belakang, batasi gerakan servikal tulang belakang dan hindari traksi atau gerakan kepala dan leher. Buka dan pertahankan jalan nafas dengan jaw thrust, dan jangan memiringkan kepala. Oleh karena disporposional ukuran kepala bayi dan anak-anak, posisi optimal oksiput atau mengangkat batang tubuh untuk menghindari backboard-induced fleksi servikal
2.      Pada kasus trauma kepala intentional brief hyperventilation dapat digunakan sebagai tindakan sementara untuk mengamati tanda herniasi otak (misalnya kenaikan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi pupil tanpa reflex cahaya, bradikardi, hipertensi)
3.      Kecurigaan trauma dada pada semua trauma torakoabdominal, meskipun tidak ada luka luar. Tension pneumothorax hemotoraks, atau memar berkenaan dengan paru-paru dapat mengganggu pernafasan
4.      Jika penderita mempunyai trauma maksilofasial atau dicurigai fraktur basal tengkorak, sebaiknya dipasang orogastric tube dibandingkan dengan nasogastric tube. Terapi syok dengan bolus 20 mL/kgBB carian kristaloid isotonic . Berikan bolus tambahan (20 mL/kgBB) jika perfusi sistemik tidak meningkat. Jika syok berlangsung 40-60mL/kg kristaloid, berikan 10-15mL/kgbb darah.
5.      Pertimbangkan trauma intraabdominal, tension pneumotoraks, tamponade pericardial, cedera sum-sum tulang pada bayi dan anak-anak, dan perdarahan intrakranial pada bayi dengan tanda syok.

b)     Penghentian Upaya Resusitasi
Belum ada prediktor yang baik untuk menentukan kapan saatnya menghentikan upaya resusitasi kardiopulmonal, maka waktu antara kejadian dan datang bantuan yang profesional meningkatkan keberhasilan resusitasi.
Resusitasi jantung paru dapat di akhiri jika sirkulasi telah kembali normal, dan korban dapat bernafas secara spontan, atau jika sirkulasi tidak dapat kembali setelah dilakukan tindakan bantuan hidup dasar  setelah 30 menit.
Berdasarkan Resuscitation Counsil, resusitasi jantung paru dihentikan jika:
1.      Anak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti adanya gerakan, batuk, bernafas spontan dan normal, atau nadi terba lebih dari 60 kali permenit
2.      Tenaga yang lebih ahli sudah datang
3.      Penolong sudah kelelahan

2.9  Pemeriksaan Penunjang
1.      Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak. Gambaran EKG bisa menunjukan Fibrilasi Ventrikel (VF) atau takikardi ventrikel (VT) tanpa denyutAktivitas listrik tanpa nadi / pulseless electric activity (PEA) dan Asistol
3.       Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
4.        Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
5.          Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung  telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
5.      Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah. Ini dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel  setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.















BAB 3. PATHWAYS































BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1  Pengkajian
1.    Identitas klien
Hal yang perlu dikaji pada identitas klien yaitu nama, jenis kelamin, umur, suku/bangsa, agama, pendidikan, alamat, lingkungan tempat tinggal. Kasus henti jantung anak – anak lebih sering pada anak usia dibawah 1 tahun dan lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki.
2.        Keluhan utama
Klien dengan henti jantung akan mendapatkan  sesak dan nyeri karena oksigen yang  disalurkan keseluruh tubuh berkurang.
3.        Riwayat Penyakit
a)        Riwayat penyakit sekarang
Hal ini harus ditanya dengan jelas pada keluarga tetang apa yang dilakukan anak sebelum mengalami pingsan kemungkinan anak tenggelam atau dengan ditemukan tanda seperti anak tidak sadar dan tangan kanan memegang dada sebelah kiri.
b)        Riwayat penyakit dahulu
Jika pasien baru didiagnosa setelah usia anak-anak, maka perlu diketahui apakah pasien pernah menderita penyakit jantung bawaan.
c)    Riwayat penyakit keluarga
Penyakit yang diderita oleh anggota keluarga dari anak yang mengalami penyakit jantung bawaan.

4.    Pengkajian Primer 
A.  Airway/Jalan Napas
Pemeriksaaan / pengkajian menggunakan metode look,listen,feel.
a) Look     : lihat status mental,pergerakan/pengembangan dada, terdapa sumbatan jalan napas / tidak,sianosis,ada tidaknya retraksi pada dinding dada,ada/tidaknya penggunaan otot-otot tambahan.
b) Listen : mendengar aliran udara pernapasan, suara pernapasan, ada   bunyi    napas    tambahan seperti snoring, gurgling, atau stidor.
c) Feel    : merasakan ada aliran udara pernapasan,apakah ada krepitasi,adanya pergeseran / deviasi trakhea, ada hematoma pada leher,teraba nadi  karotis atau tidak.
Tindakan yang harus di lakukan perawat adalah :
1.    Penilaian untuk memastikan tingkat kesadaran adalah dengan menyentuh,menggoyang dan di beri rangsangan atau respon nyeri.
2.    periksa dan atur jalan napas untuk memastikan kepatenan.
3.    Periksa apakah anak/bayi tersebut mengalami kesulitan bernapas.
4.    Buka mulut bayi/anak dengan ibu jari dan jari-jari anda untuk memegang lidah dan rahang bawah dan tengadah dengan perlahan.
5.    identifikasi dan keluarkan benda asing (darah, muntahan, sekret, ataupun  benda asing ) yang menyebabkan obstruksi jalan napas baik parsial maupun total dengan cara memiringkan kepala pasien ke satu sisi (bukan pada trauma kepala).
6.    Pasang orofaringeal airway/nasofaringeal airway untuk mempertahankan kepatenan jalan napas.
7.    Pertahankan dan lindungi tulang servikal.

B.  Breathing / Pernapasan
Pemeriksaan / pengkajian menggunakan metode look listen,feel
a)         Look    : nadi karotis ada/tidak,frekuensi pernapasan  tidak ada dan tidak terlihat adanya pergerakan dinding dada, kesadaran menurun, sianosis, identifikasi pola pernapasan abnormal, periksa penggunaan otot bantu dll.
b)        Listen      : mendengar hembusan napas
c)         Feel      : tidak ada pernapasan melalui hidung/mulut.

Tindakan yang harus dilakukan perawat adalah :
1.         Atur posisi pasien untuk memaksimalkan ekspansi dinding dada.
2.         Berikan therapy O2 (oksigen).
3.         Beri bantuan napas dengan menggunakan masker/bag valve mask (BMV) / endo tracheal tube (ETT) jika perlu.
4.         Tutup luka jika didapatkan luka terbuka pada dada.
5.         Kolaborasi therapy untuk mengurangi bronkhospasme/adanya edema pulmonal,dll.

C.        Circulation / Sirkulasi
Pemeriksaan / pengkajian :
a)    Periksa denyut nadi karotis dan brakhialis pada (bayi),kualitas dan karakternya
b)    periksa perubahan warna kulit seperti sianosis

Tindakan yang harus di lakukan perawat :
1.    Lakukan tindakan CPR/defibrilasi sesuai dengan indikasi.
Langkah-langkah di lakukannya RJP pada bayi dan anak
a)      perhatikan bayi untuk menentukan apakah bayi masih bernapas
b)      perhatikan apakah dada bayi bergerak
c)      tempatkan telinga di dekat hidung dan mulut bayi dan dengarkan aliran udara
d)     jentikan kaki bayi apabila ada perubahan warna kulit atau bila bayi tidak bernapas jangan menguncang-guncangkan bayi.
e)      Mulailah RPJ jika bayi tetap tidak bernapas setelah kakinya tidak di jentikan.
f)       Tempatkan bayi di atas permukaan yang keras
g)      Posisikan kepala dengan tepat dan bebaskan jalan napas dengan menepatkan tangan anda pada dahi dan jari-jari tangan anda dari tangan yang lain di bawah tulang rahang. berhati-hatilah mendorong jaringan lunak di bawah dagu angkat dan sedikit tengadahkan kepala kearah belakang dan hidung mengarah keatas.
h)      Tarik garis yang menghubungkan antara kedua puting susu bayi 
i)        Dengan telunjuk dan jari tengah anda,tekan lurus ke bawah pada tulang dada 1,25 cm sampai 2,5 cm.ulangi hal ini sebanyak 30 kali dan 2 kali napas buatan.

D.           Disability
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
a)        Alert (A) : pasien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya/tidak sadar   terhadap kejadian yang menimpa.
b)        Respon verbal (V) :klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
c)         Respon nyeri (P) :klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
d)        Tidak berespon (U) : tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri.
“cara pengkajian”
a)        Anamnese (tanya) : nama dan kejadian
b)        Cubit daerah pundak/tepuk wajah
c)        Dengan GCS  (E1 M1 V1 ), pupil, kemampuan motorik

5.        Pengkajian Subjektif
Untuk mendapatkan data subyektif perlu di pertimbangkan budaya pasien, kemampuan kognitif dan tingkat pertumbuhaan. Pengkajian tentang keluhan nyeri termasuk tingkat keparahan, lokasi durasi,dan intensitas nyeri dengan menggunakan mnemonic     PQRST. Mnemonic PQRST untuk pengkajian nyeri
1.         P : Provokativ / Palliative
Apa yang menjadi penyebab,apakah ada hal yang menyebabkan kondisi memburuk / membaik.apa yang di lakukan jika sakit / nyeri timbul. Apakah nyeri ini sampai mengganggu tidur.
2.      Q : Quallity / Kualitas
Seberapa berat keluhan di rasa, atau bagaimana rasanya
3.         R : region/radiasi
Apakah sakitnya menyebar,seperti apa penyebarannya.
4.         S : skala severity
Skala kegawatan dapat di gunakan GCS untuk gangguan kesadaran skala nyeri atau ukuran lain yang berkaitan dengan ukuran.
5.      T : time/waktu
Kapan keluhan tersebut mulai di rasakan / di temukan atau seberapa sering keluhan tersebut di rasakan. Pada unit gawat darurat riwayat kesehatan lengkap dan pengkajian subjektif secara detail jarang di lakukan atau di butuhkan. Pengkajian di unit gawat darurat lebih di fokuskan pada keluhan utama yang di rasakan pasien.

6.        Pengkajian Objektif
Pengkajian objektif adalah sekumpulan data yang dapat dilihat da di ukur meliputi TTV,BB dan TB pasien,pemeriksaan fisik,hasil perekaman EKG,serta tes diagnostik.

7.  Pemeriksaan Fisik
a.            Inspeksi adalah pemeriksaan di mulai dari status keseluruhan pasien.apakah pasien sadar atau tidak,penampilan secara umum pasien (general apperance). Rapi atau berantakan, melihat apakh pasien bernapas dengan tersengal-sengal, bagaimana warna kulit dan mukosa, apakah ada memar, perdarahan, atau bengkak. Perhatikan postur dan pergerakan tuuh apakah ada nyeri,gangguan neurologis, orthopedi, dan status mental.
b.           Auskultasi adalah di gunakan untuk pemeriksaan paru-paru, jantung dan suara peristaltik. Periksa kualitas suara, intensitas, dan durasi. Lakukan pemeriksaan auskultasi sebelum di lakukan palpasi dan perkusi.
c.            Palpasi adalah di periksa untuk karasteristik permukaan seperti, tekstur kulit, sensitifitas, tugor dan suhu tubuh.gunakan palpasi ringan untuk memeriksa denyut nadi, deformitas, kekuatan otot, sedangkan palpasi dalam dapat di gunakan untuk mengidentifikasi adanya massa, nyeri, ukuran, organ dan adanya kekakuan.
d.           Perkusi adalah dapat di lakukan untuk mengevaluasi organ atau kepadatan tulang dan dapat di gunakan untuk membedakan struktur padat,berongga,atau adanya cairan.

8.      Pengkajian Neurologis
Indikator utama dalam pengkajian neurologis adalah tingkat kesadaran pasien. Untuk mengetahui status neurologis dan mencatat perubahan setiap saat maka dapat di gunakan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk dewasa dan pediatrik glasgow coma scale pada anak-anak yang belum bisa bicara.

9.      Pengkajian Kardiovaskuler
Gunakan EKG 12 lead untuk mengetahui atau menilai adanya abnormalitas irama.
a.    Suara jantung.
b.    Murmur
c.    Efusi perikat / tamponad
d.    Perfusi

10.  Pernapasan
Suara napas di kelompokan menjadi,trakheal,bronkhiale,vesikuler,dan bronkovesikuler.suara napas abnormal (berat) termasuk stridor, ronkhi, rales, terputus-putus, dan sulit bernapas.
11.  Gastrointestinal
Pada pengkajian subjektif perlu di kaji / pemeriksaan sistem gastrointestinal. Apakah ada riwayat gastritis, sirosis hepatis, appendisitis, dan pankreatitis, dll. Apakah ada gaya hidup yang mempengaruhi masalah gastrointestinal.

12.  Perkemihan
Catat frekuensi urine ,adanya inkontinensia, terasa panas,damn bau aneh. kaji pula lokasi nyeri dan kateter.
13.  Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal dalam gawat darurat biasanya berhubungan dengan trauma dan infeksi.
14.  Integumen
Periksa warna kulit,tekstur,turgor dan suhu tubuh kulit.apakah ada tanda-tanda pucat sianosis,atau kekuningan.
15.  Hematologis
Periksa gangguan tanda-tanda perdarahan seperti memar, ptechiae, konjungtiva pucat, nyeri dan memar,dll.
16.  Imunologi
Gaya hidup,status imunisasi,dan riwayat penyakit adalah faktor kunci dalam pemeriksaan imun.demam adalah pertimbangan penting tapi tidak selamanya orang yang bersuhu tiggi dalm keadaan bahaya. Hal lai  yang di pertimbangkan adalah status imunisasi terbaru dan riwayat kontak dengan orang yang memiliki gejala yang sama.
17.  Endokrin
Perhatikan adanya gangguan endokrin jika pasien merasa sering lelah, lemah, perubahan status mental, penurunan BB, panas dingin, poliuri, polidipsi, dan polifagi. 

4.2  Diagnosa
1.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai Oksigen  tidak adekuat.
2.    Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan perubahan preload, afterload, dan kontraktilitas.
3.    Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung menurun.
4.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5.    Nyeri akut berhubungan dengan infark jaringan miokard

4.3 Perencanaan  ( Kriteria Hasil, intervensi, rasional)
Diagnosis
Perencanaan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.    Gangguan pertukaran gas b/d suplai O2  tidak adekuat
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam klien dapat:
Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
Dengan Indikator:
1. Nilai GDA normal
2. Tidak ada distress pernafasan

1. Berikan oksigenasi  sesuai indikasi
2. Pantau GDA Pasien
3. Pantau pernapasan klien
4. Lakukan RJP

1.      Pantau pernapasan klien
1      Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar dan dapat memperbaiki hipoksemia jaringan
b)   Nilai GDA yang normal menandakan pertukaran gas semakin membaik
c)    Untuk evaluasi distress pernapasan
d)   Membantu membuka jalan pernapasan apabila ada sumbatan melakukan resusitasi segera dgn tujuan mengembalikan fungsi sirkulasi normal, diharapkan dpt mencegah kematian dan kerusakan otak

2.    Gangguan perfusi serebral b/d penurunan suplai  O2  ke otak
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam klien dapat: Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 ­kembali lancar
Dengan Indikator:
1. Pasien akan memperlihatkan tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Warna dan suhu kulit normal
3. CRT  < 2 detik.

1.      Berikan vasodilator misalnya nitrogliserin, nifedipin sesuai indikasi
2.      Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung
3.      Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit dingin atau lembab
4.      Pantau pengisian kapiler (CRT)
1. Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi miokardia.
2. Mempercepat pengosongan vena superficial, mencegah distensi berlebihan dan meningkatkan aliran balik vena
3. Sirkulasi yang terhenti menyebabkan transport O2 ke seluruh tubuh juga terhenti sehingga akral sebagai bagian yang paling jauh dengan jantung menjadi pucat dan dingin.
4. Suplai darah kembali normal jika CRT < 2 detik dan menandakan suplai O2 kembali normal
3.        Penurunan curah jantung b/d perubahan preload, afterload, dan kontraktilitas.
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam klien dapat:
Menunjukan curah jantung yang memuaskan di buktikan dengan keefektifan pimpa jantung,status sirkulasi,perfusi jaringan (organ abdomen),dan perfusi jaringan (perifer)
Dengan Indikator:
1. Tekanan darah sistilik,diastolik dalam batas normal
2. Denyut jantung dalam batas normal
3. Tekanan vena sentral dan tekanan dala paru dbn
4. Hipotensi ortostatis tidak ada
5. Gas darah dbn
6. Bunyi napas tambahan tidak ada
7. Distensi vena leher tidak ada
8. Edema perifer tidak ada
1. Lakukan pijat jantung
2. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat  sesuai indikasi  (kolaborasi)
3. Palpasi nadi perifer
4. Pantau Tekanan Darah
5. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
1.      untuk mengaktifkan kerja pompa jantung
2.      Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas.
3.      Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, dorsalis pedis dan postibial. Nadi mungkin hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi.
4.      Pada pasien Cardiac Arrest tekanan darah menjadi rendah atau mungkin tidak ada.
5.      Pucat menunjukkkan menurunnya perfusi sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung.
4.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
Setelah dilakukan perawatan 4x24 jam klien dapat: Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Dengan Indikator:
1.    Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
2.      Tanda-tanda vital dalam batas normal
1. Evaluasi respon terhadap aktivitas
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
4. Bantu aktivitas perawatan, aktivitas diri yang diperlukan.
5. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat / tidur.
1.    Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan memilih intervensi secara tepat
2.    Menurunkan stress dan rangsangan berlebihan
3.    Tirah baring diperlukan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic.
4.    Meminimalkan kelelahan dan menbantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5.    Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi,tidur dikursi / menunduk kedepan meja / bant pasienal




5.    Nyeri akut b/d infark jaringan miokard
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam klien dapat:
Skala nyeri berkurang
Dengan Indikator:
1.      Tanda-tanda vital dalam batas normal,
2.      skala nyeri berkurang
3.      pasien merasa nyaman

1.    kaji TTV
2.    Kaji skala nyeri
3.    Berikan posis nyaman pasien
4.    Tingkatkan istrirahat pasien
5.    Ajarkan teknik nafas dalam
6.    Atur lingkungan nyaman
7.    Kolaborsi pemberian analgesik
8.    Berikan informai tentang nyeri yang dialami pasien
1.    Nyeri mempengaruhi TTV
2.    Menentukan batas ambang nyeri pasien
3.    Meminimlakna adanya nyeri yang dialami pasien
4.    Meminimlakan nyeri pasien
5.    Lingkungan meringankan nyeri pasien
6.    Membuat nyaman pasien
7.    Menurunkan nyeri pasien
8.    Meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga

4.4     IMPLEMENTASI
Implementasi (pelaksanaan) keperawatan disesuaikan dengan rencana keperawatan (intervensi), menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan pedoman atau prosedur teknis yang telah ditentukan.

4.5     EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan :
a.       Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 ­kembali lancar
b.      Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
c.       Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan oksigen ke otak terpenuhi














BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot jantung secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat hipoksia lama karena terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak henti jantung pada bayi dan anak.
            Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama, karena sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan otak. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP harus dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan menunjang kelangsungan hidup korban.  
Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di tempat yang aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.

5.2 Saran
Informasi dan pelatihan tatalaksana henti henti jantung sebaiknya dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat bahwa resusitasi dapat memberikan pertolongan awal. Dampak yang di timbulkan semakin berat jika waktu datangnya pertolongan semakin lama.













DAFTAR PUSTAKA


American Heart Association. Pediatric Basic Life Support : 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation 2010
Behram ,Kliegman, Jensen,. 2000. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC,
Guyton AC, Hall JE 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11, Jakarta: EGC, 2008. h. 163.
Hakim, DDL.2013. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat (Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak). Jakarta: Badan penerbit IDAI
Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for healthcare provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
Pratondo, Oktavianus.( Tanpa Tahun).Persepsi Perawat Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru (Rjp) Di Upj Rsup Dr. Kariadi Semarang . Jurnal : Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta .
Tress, Erika E et al. 2010. Cardiac Arrest in Children. Journal of Emergencies, Trauma, and Shock .
Ulfah AR. 2010. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Jakarta. 2003 AHA Guidelines For CPR and ECC.

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : diagnosa NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC